Bangsa Indonesia terkenal akan ragam budaya dan etnisnya, tentunya
lengkap dengan segala atribut kebudayaannya. Sementara kelestarian semakin
sering dudengungkan orang banyak, namun dilain pihak banyak pula yang – sadar
ataupun tidak – tidak mempedulikan kelestarian itu. Sebut saja contoh jelas,
rumah rumah tradisional. Termasuk rumah tradisional Minangkabau di daerah
Sumatra Barat, keberadaannya perlu diperhatikan, kalau memang kita menginginkan
bangunan tersebut tetap dapat dinikmati oleh anak cucu kita kelak.
Bangunan tradisional memang merupakan ciri bagi setiap
daerah. Dari bangunannya dapat diketahui identitas daerah-daerah tersebut,
karena itu wajar saja bila bangunan-bangunan khas itu perlu dilestarikan. Namun
dipihak lain, para penghuni bangunan-bangunan itu mungkin saja memiliki suatu
keinginan untuk mengganti rumah tuanya dehgan bangunan baru yang modern, bila
keadaan memungkinkan. Tentunya, hal ini dapat dimengerti mengingat mereka juga
ingin menikmati pembangunan di zaman yang semakin canggih ini. Dan masalah ini
tidak akan selesai begitu saja tanpa ada usaha-usaha dan semua pihak.
Hal yang perlu diperhatikan adalah pentingnya
pengenalan terhadap bangunan-bangunan tersebut, sehingga keinginan untuk
melestarikan semakin kuat dan mungkin dapat digunakan pula sebagai motifator
bagi pemilik bangunan bangunan khas itu untuk juga menjaga bangunan-bangunan
tradisionalnya
Ada mitos bahwa nenek moyang masyarakat Minang berasal
dari seberang laut yang datang dengan menggunakan perahu. Berdasarkan beberapa penyelidikan
manusia Minang berasal dari Asia yang datang pada sekitar tahun 200 SM dan
hidup pada zaman batu dengan pola nomaden (berpindah-pindah ternpat). Gelombang
berikutnya, orang orang Tonkin dari Asia Tenggara masuk ke Minang dengan
membawa kebudayaan logam. Dan dari kebudayaan Tonkin ini, lahirlah kebudayaan
Indonesia pada umumnya dan kebudayaan Minang pada khususnya. Demikian terus
berkembang sampai Islam masuk pada sekitar abad 16. Sejak saat itulah,
masyarakat Minang erat dengan ajaran-ajaran Islam, bahkan hingga kini.
Budaya Minang memang khas, tak ubahnya ke-khas-an
daerah-daerah lain ditanah air kita ini. Ada satu perbedaan sistim
kemasyarakatan di Minang, yang tak ditemui didaerah lain. Sistem tersebut
adalah garis keluarga yang menurut kepada garis Ibu atau dikenal dengan
Matrilineal. Sistem ini demikian kuat melekat pada diri setiap masyarakat
Minang, sampai berpengaruh pada susunan atau denah rumahnya.
Secara garis besar, sistem kekerabatan Minang dapat
dibagi menjadi empat, yaitu Rumah, yang dikepalai oleh mamak rumah; kemudian
Paruik, yang merupakan satu keluarga dan dibentuk oleh beberapa rumah.
Ikatannya masih bersifat genealogis. Ketiga, adalah Kampuang yang dipimpin oleh
penghulu kampung dan dibentuk oleh beberapa Paruik. Dan terakhir, adalah Suku
yang dipimpin oleh kepala suku dan dibentuk oleh beberapa kampung. Disini
terlihat adanya hirarkhi dalam sistem kekerabatan masyarakat Minang. Dalam
suatu keluarga, segala urusan keluarga diurus oleh seorang laki-laki dewasa
dari keluarga itu, yang bertindak sebagai “ninik mamak” bagi keluarga tersebut. Tanggung jawab keluarga
memang terletak pada seorang mamak atau saudara dari ibu. Dan seorang ayah
dalam keluarga Minangkabau adalah termasuk keluarga lain dari istri dan
anaknya. Demikian pula halnya dengan anak laki-laki termasuk keluarga lain dari
keluarga ayahnya. Seorang laki-laki dirumah istrinya hanyalah sebagai “sumando” atau tamu yang dihormati.
Dalam hal perkawinanpun, ada aturan aturan yang perlu diperhatikan. Pada
masyarakat Minang yang ideal adalah perkawinan mereka yang bersaudara sepupu
silang atau Exogarni Cross Cousin Marriage (ECCM), yaitu perkawinan mobreda”
atau mother-brother daughter, perkawinan antara laki-laki dengan putri dari
mamaknya. Dapat pula dijumpai perkawinan antara lak-laki dengan kemenakan atau
anak saudara perempuan ayahnya. Selain itu, dalam budaya Minang dianggap layak
bila seorang laki-laki mengawini salah seorang saudara perempuan dan almarhum
istrinya atau dengan mengawini janda abangnya. Perkawinan semacam mi sangat
dihormati dan dikenal dengan istilah “menyiliehkan”
Hal lain adalah tidak dikenalnya mas kawin pada perkawinan dalam masyarakat
Minang, melainkan dengan “uang
jemputan”. Biasanya juga diadakan pertukaran benda lambang kedua
keluarga yang dikenal dengan “batuka
tando”, berupa cincin ataupun keris.
Hunian
Pada masyarakat Minang, pola permukiman secara makro
atau perkampungan disebut “nagari”.
Dan unsur-unsur pembentuknya antara lain adalah daerah taratak, yaitu daerah ladang dan hutan yang berada disekitar
nagari dan menjadi sumber penghasilan seharii-hari. Kemudian daerah mukim, yaitu daerah permukiman yang
memiliki pusat orientasi pada pusat nagari.
Pusat nagari biasanya terbentuk dari beberapa fungsi
bangunan umum, seperti balai adat, tempat para pemuka adat mengadakan pertemuan
guna memecahkan masalah besar, balai nagari, masjid dan pasar. Konsentrasi
permukirnan secara naluri membentuk ruang-ruang yang mengapit daerah taratak sebagai daerah tempat mata
pencarian sehari-hari. Secara keseluruhan, pola nagari Minang juga tergantung
dari situasi tanah, tetapi tetap ada jalan utama dari rumah-rumah tersusun
mengikuti jalan-jalan yang terbentuk. Susunan rumah, biasanya rnenghadap jalan,
baik sejajar ataupun tegak lurus jalan. Terkadang ada pula yang rnenghadap
matahari.
Secara rnikro, pola permukiman masyarakat Minang
berdasarkan sistem pernerintaharinya disebut sebagai “Kampuang” atau kampung. Dan kampuang ini terdiri dari beberapa paruik, yang bisa diartikan satu kaum
besar tapi masih ada pertalian darah. Kampung ini sering pula disebut sebagai
jorong. Secara kelompok, dapat dibagi menjadi dua kelompok hunian. Kelompok
hunian kecil, adalah satu keturunan seibu. Bila satu keluarga tidak memiliki
ruang yang cukup untuk semua wanita didalam rumah itu, maka biasanya dibuat
rumah baru diatas tanah keluarga. Rumah-rumah tersebut dapat saling berhadapan
ataupun bersampingan. Rumah itu disebut sebagai rumah adat. Dan didepan rumah
adat biasanya terdapat lumbung yang jumlahnya satu sampai tiga, tergantung tingkat
ekonomi keluarga. Lumbung ini disebut “rangkiang”
yang juga menjadi lambang status sosial keluarga.
Kelompok lain adalah kelompok hunian hesar. Kelompok
ini dalam sistem kekerabatan disebut paruik,
atau artinya perut, yaitu suatu keturunan yang lebih luas/besar dan pada
keturunan langsung.
Biasanya kelompok paruik terdiri dari beberapa rumah adat. Secara tradisional
masyarakat Minang tidak mengenal orientasi bangunan secara khusus.
Bangunan-bangunan yang ada dibuat menyesuaikan dengan jalan, biasanya sejajar
dengan arah jalan. Rumah lapis kedua biasanya membelakangi jalan dan rumah
lapis ketiga berhadapan dengan rumah lapis kedua. Begitu seterusnya, tapi
tergantung pula oleh kondisi tanah. Memang tanah di daerah Minangkabau terdiri
dari dataran rendah dan dataran tinggi. Minangkabau yang terletak di propinsi
Sumatera Barat berada pada tanah dengan ketinggian bervariasi, dari 2 meter
sampai 927 meter diatas permukaan air laut. Ketinggian rata-rata sekitar 368
meter dari permukaan air laut.
Dalam hal rumah, masyarakat Minangkabau sangat erat
kaitannya dengan adat. Fungsi rumahpun berbeda beda dan tergantung beberapa hal
seperti, kedudukan orang yang membangun rumah itu terhadap keluarga atau
sukunya, status tanah tempat rumah itu dibangun serta pengaruh lingkungan
keluarga yang membangun tersebut. Dapat dikatakan ada dua jenis rumah, yaitu :
rumah adat dan rumah gadang. Rumah adat merupakan rumah keluarga yang menampung
segala kegiatan upacara-upacara adat dengan kelengkapannya. Sedangkan rumah
gadang, walaupun bentuknya sama dengan rumah adat namun fungsinya lebih
disesuaikan dengan kebutuhan keluarga, bukan untuk acara adat. Karena, untuk
suatu rumah adat diperlukan persyaratan tertentu yang tidak sembarang orang
dapat membuat rumah adat tersebut.
Unsur Tradisional
Tinjauan denah bagi rurnah tradisional Minang dapat
dilihat pada rumah adatnya. Biasanya susunan denah dibuat simetris dengan
tempat masuk pada bagian tengah arah sumbu memanjang. Jumlah ruangnya,
disesuaikan dengan jumlah anak gadis atau wanita yang berdiam dirumah tersebut,
namun tetap dibuat jumlah ruang yang ganjil karena memperhatikan kesan simetri
tadi. Semua kamar didalam rumah memang diperuntukkan bagi wanita, dimana mereka
dapat menerima suami pada malam hari. Sehingga tidak dikenal adanya kamar untuk
laki-laki. Ruang duduk besar terletak dibagian muka untuk menerirna tamu dan
tempat upacara adat. Ada semacam pengertian yang tersirat dari adanya ruang
duduk besar ini, bahwa orang Minang sebenarnya sangat mengenal faham “demokrasi”
yang diistilahkan sebagai “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”. Ruang ini
pun digunakan untuk berbincang-bincang santai, bahkan perabotannyapun hampir
tidak ada. Biasanya orang-orang duduk dibawah dengan beralaskan tikar, demikian
pula pada waktu makan, duduk dibawah pula. ruang duduk dalam, untuk menunjang
kegiatan pada ruang duduk besar.
Dapur biasanya terdapat pada belakang rumah, tidak
menjadi satu dengan rumah. Namun bila ingin meletakkan dapur didalam rumah,
mereka biasanya mengambil tempat pada ruang tengah belakang, persis pada sumbu
entrance. Sedangkan kamar mandi pada rumah rumah adat biasanya diletakkan
terpisah. Pada bagian samping kiri dan kanan, biasanya terdapat ruang khusus
untuk duduk-duduk atau menenun bagi kaum wanita. Ruang ini biasanya disebut “anjuang” dan lantainya agak
dinaikkan sedikit dari pada ruang tengah. Diruang inilah kaum wanita
mengerjakan kerajinan tangan, apakah itu menenun, merajut, menyulam atau
kegiatan lain. Dari kegiatan mereka inilah lahir kerajinan-kerajinan khas
daerah yang memperkaya khasanah tradisional kita.
Atap Gonjong
Sebagaimana bangunan tradisional daerah lain, rumah
minang juga mengenal kepala-badan-kaki pada bangunannya. Kepala yang
ditunjukkan dengan atap memiliki bentuk khas, seperti mata gergaji terbalik
dengan garis-garis pembatas melengkung dan menghadap keluar. Dari arah memendek
tampak bentuk atap seperti segitiga sama kaki yang agak melengkung. Bentuk atap
demikian disebut sebagai “gonjong”
atau tajuk yang konon diambil dari bentuk dasar tanduk kerbau, dan kata
Minangkabau (kabau artinya kerbau). Gonjong inilah yang merupakan lambang
kebesaran adat. Pada setiap rumah adat, biasanya terdapat empat buah gonjong,
tapi banyak pula yang menambahkan gonjong diatas setiap anjuang, sehingga
jumlah gonjongnya menjadi enam. Rumah dengan enam gonjong itu yang dapat
dinikmati di TMII, Jakarta.
Bahan untuk atap biasanya dipilih ijuk, mungkin untuk
mendapatkan kemudahan pada waktu membentuk lengkungan. Lambat laun banyak yang
mengganti atapnya dengan seng, bahkan kini dapat pula terlihat bangunan yang
menggunakan atap gonjong dengan bahan penutup atap dari genteng.
Bagian badan adalah dinding rumah. Pada pertemuan
antara atap dan badan rumah, terdapat “pagu”
yang berfungsi sebagai tempat menyimpan barang yang jarang dipakai. Bahan
plafond biasanya sama dengan bahan lantai, yaitu kayu (papan), dan dindingnya
berlapis dua. Lapisan luar terbuat dan anyaman bambu “sasak bugih” dan dinding sebelah dalam menggunakan papan.
Pada keluarga berada, dinding rumahnya banyak dihiasi ukiran atau
ornament-ornamen beraneka warna. Memang warna di Minang cukup “berani”. ini
terlihat tidak saja dari ornamen rumah, melainkan juga dan pakaian adatnya.
Bagian paling bawah adalah kaki, yang diwujudkan
dengan kolong. Seluruh lantai rumah dinaikkan, sehingga terbentuklah kolong,
sebagaimana biasanya bangunan tradisional kita. Ketinggian lantai dari tanah
biasanya dicapai dengan tangga, dan kayu atau batu. Dan rumah-rumah tradisional
yang masih banyak terdapat di desa-desa di Sumatera Barat ini berdiri cukup
tinggi, bahkan ada yang bagian kolongnya dapat dimasuki orang dewasa tanpa
harus membungkuk. Fungsi kolong ini hampir sama dengan kolong-kolong lain yaitu
tempat menyimpan barang atau ternak. Biasanya kolong ini ditutup tapi tidak
permanen. Kadang-kadang penutupnya diletakkan disebelah luar sehingga tidak
tampak lagi bangunan berdiri diatas tiang.
Bangunan tradisional, bagaimanapun memiiki ciri khas.
Ia perlu diperhatikan tidak saja untuk memperkaya khasanah budaya kita namun
perlu pula untuk menunjukkan betapa bangsa kita yang begitu banyak ragamnya
bisa tetap bersatu. hidup berdampingan bahkan saling membantu.
Untuk
mengetahui ragam motif ukiran dan falsafah yang terkandung pada ukiran-ukirang
“rumah gadang” atau rumah tradisionil Minangkabau, klik [
0 komentar:
Posting Komentar